Portalbangkabelitung.com- Puisi untuk Ayah karya penyair terkenal Pramoedya Ananta Toer, spesial untuk Ayah di Hari Ayah Nasional 2021.
Tanggal 12 November 2021 diperingati sebagai Hari Ayah Nasional. Kirimkan puisi tentang Ayah ini kepada Ayah tersayang.
Puisi tentang Ayah karya Pramoedya Ananta Toer ini menceritakan seorang anak yang ingin pulang dan kembali kepada sang Ayah.
Ia terjebak di situasi yang membuat ia tak bisa pulang, namun ingin mengadukannya kepada sang Ayah.
Ayah adalah tempat terbaik untuk bercerita setelah Ibu. Ayah memegang peran yang penting dalam sebuah keluarga.
Tak hanya mencari nafkah, Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya, dan sahabat pertama anak laki-lakinya.
Dilansir Portalbangkabelitung.com dari berbgai sumber, berikut Puisi Untuk Ayah Karya Pramoedya Ananta Toer, spesial untuk Ayah di Hari Ayah Nasional 2021.
Puisi Untuk Ayah
Karya Pramoedya Ananta Toer
Sebenarnya, aku ingin kembali, Ayah
Pulang ke teduh matamu
Berenang di kolam yang kau beri nama rindu
Aku, ingin kembali
Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman
Memetik tomat di belakang rumah nenek.
Tapi jalanan yang jauh, cita-cita yang panjang tak mengizinkanku,
Mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur
Menggaruk-garuk bantal saat aku bermimpi
Aku ingin kembali ke rumah, Ayah
Tapi nasib memanggilku
Seekor kuda sembrani datang, menculikku dari alam mimpi
Membawaku terbang melintasi waktu dan dimensi kata-kata
Baca Juga: Ide Menu Olahan Sapi: Resep Dendeng Balado Khas Padang, Lezat dan Mantap, Makan Jadi Nambah
Aku menyebut pulang, tapi ia selalu menolaknya
Aku menyebut rumah, tapi ia bilang tak pernah ada rumah
Aku sebut kampung halaman, ia bilang kampung halaman tak pernah ada
Maka aku menungganginya
Maka aku menungganginya
Menyusuri hutan-hutan jati
Melihat rumput-rumput yang terbakar di bawahnya
Menyaksikan sepur-sepur yang batuk membelah tanah Jawa
Arwah-arwah pekerja bergentayangan menuju ibu kota,
Mencipta banjir dari genangan air mata
Arwah-arwah buruh menggiring hujan air mata, mata mereka menyeret banjir
Kota yang tua telah lelah menggigil, sudah lupa bagaimana bermimpi dan bangun pagi
Hujan ingin bercerai dengan banjir
Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia
Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya
Orang-orang datang ke pasar malam, satu persatu, seperti katamu
Berjudi dengan nasib, menunggu peruntungan menjadi kaya raya
Tapi seperti rambu lalu lintas yang setia, sedih dan derita selalu berpelukan dengan setia
Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya
Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak.
Dan batasnya adalah ufuk.
Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh.
Yang tertinggal jarak itu juga-abadi.
Di depan sana ufuk yang itu juga-abadi.
Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukan dan menggenggamnya dengan tangan-jarak dan ufuk abadi itu
Pramoedya Ananta Toer, "Gadis Pantai", (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), hlm. 269.