Asing dan Terusir di Tanah Kelahiran Sendiri : Orang Rimba Diiadakan oleh Modernisasi

- 1 November 2020, 10:45 WIB
. Kako Gemambun Menunjukkan Hasil Buruan Jernang Di Tengah Sisa Hutan Yang di Kelilingi Oleh Kebun Sawit Milik Perusahaan Swasta
. Kako Gemambun Menunjukkan Hasil Buruan Jernang Di Tengah Sisa Hutan Yang di Kelilingi Oleh Kebun Sawit Milik Perusahaan Swasta /Rofi Surya Aryanto

Dibalik eksotisnya Alam Bukit Dua Belas yang dilihat di media sosial, ada populasi manusia yang terancam huniannya akibat modernisasi dan inovasi bahan bakar oalahan sawit. SAD (Suku Anak Dalam)... kita mengenalnya di katalog buku, berbagai akun media sosial tema budaya dan sebagainya. Salah satu bentuk modernisasi yang masuk lewat infrastrukturda n kemasyarakatan pelan-pelan mengikis adat dan budaya Orang Rimba, khususnya Berteman dengan Alam. Pemerintah sendiri berdalih, sederet program itu dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan orang rimba yang masuk kategori miskin dan tertiggal. Namun apakah “miskin dan tertinggal” pantas disematkan kepada mereka yag dari dulun adem ayem hidup begadengan dengan hutan Alam Bukit Dua Belas yang kaya akan potensi budaya dan alamnya?

Program mulia dalam kaca mata mereka, seperti bantuan rumah hunian, bantuan pembuatan KTP, bantuan sosial dengan memberi beras, mie dan sembako sampai mencoba membantu anak-anak untuk bersekolah. Kenyataannya apa? Pola pikir perlahan mulai berubah, awalnya terbiasa hidup survival dan bersahabat dengan alam jadi bergantung dengan pemberian dari Pemerintah semata-mata bantuan, plastik bertebaran dimana-mana sisa dari makanan mereka, mengenal uang dimana mereka mengharukan mendapatkan dengan susah dan mencoba meniru gaya hidup manusia modern. Pola kapital mulai terbentuk tanpa diimbangi dengan dasar yang kuat. Dilihat dari kaca mata budaya, dari strata paling atas di sebut Temenggung, pemuka adat atau yang tau adat tentang orang rimba, mengatakan “kalau manusia makin lama makin banyak, hutan makin lama makin sedikit. Apa yang bisa kami lakukan sedangkan hukum negara dilegalkan di tanah kelahiran kami sedangkan hukum adat ilegalkan ditanah kami sendiri?” “kami bertahan dengan menyesuaikan tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan” “semuaya barang baru bagi kami dan kami terpaksa” “Cuma pakai cawat dianggap tidak beradab” “berbubur dianggap merusak kehidupan hutan, tapi orag PT bakar rumah kami 2015 lalu dianggap majukan Negara”. Sebuah curhatan yang membuat pikiran buntuk, dari pada punah mereka lebih memili beradaptasi dengan meninggalkan hutan sebagai rumah mereka. Krisis sosial dan perubahan pola pikir itulah yang menyebabkan hutan sebagai tempat lahir dan mati, hutan sebagai sumber makanan, hutan sebagai rumah, dan hutan sebagai ibu mereka menjadi tanah asing dan dimanfaatkan oleh banyak kalangan investor untuk membangun sebuah perekonomian kapitalis.

Berikutnya Kakok Gemambung, di usia 14 tahun harus berkeluarga karena adat. Punya keluarga dan punya anak, akibat perubahan pola pikir tersebut, kako harus terpaksa menjadi tukang kebun lepas dan mendapatkan uang untuk bertahan hidup, dengan cara berbubur jernang. Dulunya jernang banyak didapati di hutan, bisa dijual untuk mendapatkan uang kemudian membeli keperluan keseharian keluarga yang telah bergantung dia makanan plastik dan gaya hidup kapitalis, berburu pun untuk keperluan dan konsumsi pribadi, itupun secara diam-diam. Hidup kako serba krisis, kako harus bertahan dengan prinsip orang Rimba yang tersisa di jati dirinya. Hutan makin lama makin berkurang seperti yang dikatakan temenggung dan kasus dilapangan. Persediaan jernangpun makin menipis, alhasil kako harus sambilian mencuri sawit yang terjatuh dan terpaksa mejual hasil curian. Terusir, terasing, diburu dan dibenci di tanah kelahiran sendiri akibat sebuah moderisasi. 

Editor: Muhammad Tahir

Sumber: Bangka.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah