Curi Uang Digital dari Amerika Serikat Hingga Triliunan, Tiga Peretas Asal Korea Utara Dipidanakan

- 18 Februari 2021, 21:45 WIB
PUSAT Keamanan Syber Inggris mengatakan perusahaan obat dan kelompok peneliti vaksin Covid-19 sedang menjadi target kelompok yang dikenal sebagai APT29.*/THE GUARDIAN.COM
PUSAT Keamanan Syber Inggris mengatakan perusahaan obat dan kelompok peneliti vaksin Covid-19 sedang menjadi target kelompok yang dikenal sebagai APT29.*/THE GUARDIAN.COM /

Portalbangkabelitung - Jon Chang Hyok, Kim Il, dan Park Jin Hyok merupakan tiga ahli program komputer asal Korea Utara.

Mereka dituntut oleh Amerika Serikat atas kasus peretasan hingga pencurian uang digital (cryptocurrency) senilai 1,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp18,2 triliun.

Ketiganya terlibat kasus pencurian ini saat mereka bekerja di badan intelijen militer Korea Utara.

Hal tersebut diungkap Departemen Kehakiman AS, pada Rabu, 17 Februari 2021, yang mana kasus tersebut telah merugikan bank serta studio produksi film di Hollywood.

Baca Juga: Pantai Pasir Panjang Papua Barat Siap Memukau Wisatawan yang Berkunjung


Sebelumnya, AS pernah menuntut Park untuk sebuah kasus hukum pada 2018. Namun dalam kasus ini, Departemen Kehakiman AS mengatakan para peretas itu bertanggung jawab atas rangkaian kasus pidana dan peretasan tingkat tinggi.

Pihaknya juga menyatakan hal itu termasuk di antaranya serangan balasan terhadap Sony Pictures Entertainment pada 2014.

Sony Pictures Entertainment merupakan produser film ‘The Interview’ yang menceritakan kisah pembunuhan pemimpin di Korea Utara.

Selain itu, kelompok peretas itu juga dicurigai menargetkan para pekerja AMC Theatres dan meretas komputer milik Mammoth Screen yakni rumah produksi film di Inggris yang membuat film seri tentang Korea Utara.

Baca Juga: Bahaya Bencana Industrial Dikala Pandemi Covid-19 yang Mengancam Masyarakat Luas dan adanya kekhawatiran

Tak hanya itu saja, Departemen Kehakiman juga menuduh tiga peretas asal Korea Utara itu terlibat dalam pembuatan WannaCry 2.0 ransomware-- perangkat lunak yang merusak sistem komputer.

Ransomware buatan Korea Utara itu menyerang jaringan komputer Badan Kesehatan Nasional Inggris pada 2017.

AS turut menyalahkan tiga peretas itu karena menerobos masuk dalam sistem komputer sejumlah bank di Asia Selatan, Asia Tenggara, Meksiko, dan Afrika dengan cara merusak protokol SWIFT untuk mencuri uang.

Para peretas itu juga diyakini telah menyebarkan aplikasi berbahaya yang menargetkan para pengguna uang digital mulai Maret 2018 sampai September 2020.

Baca Juga: Seorang Ulama Ditangkap oleh Pihak Berwenang Arab Saudi

Dari jumlah uang yang berhasil dicuri oleh para peretas belum jelas sampai saat ini, hal itu karena ada beberapa aset yang berhasil dipulihkan atau dikembalikan tetapi jumlahnya masih cukup besar.

alam sebuah kasus peretasan yang terjad di Bangladesh Bank pada 2016, pelaku diyakini berhasil kabur membawa uang senilai 81 juta dolar AS atau sekitar Rp1,13 triliun.

“Intelijen Korea Utara menggunakan keyboard daripada senjata, mencuri uang digital daripada uang fisik, dan mereka adalah para pencuri bank abad ke-21 paling terdepan di dunia,” kata Asisten Jaksa Agung AS, John Demers, saat jumpa pers.

Sementara itu, Asisten Direktur Biro Investigasi Federal (FBI) di Los Angeles, Kristi Johnson, mengatakan tiga peretas itu diyakini ada di Korea Utara. Sebagaimana dikutip Portalbangkabelitung.com dari Pikiran-Rakyat.com

Baca Juga: Tahun Ini, Palestina Tunjukkan Antusiasme Tinggi dalam Pemilihan Umum

Begitupun dari beberapa pejabat di pemerintahan menduga para peretas Korut juga ada di China dan Rusia. Perwakilan Korea Utara untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York belum menanggapi pertanyaan terkait kasus tersebut.

Begitupun pihak Kedutaan besar China dan Rusia di Washington juga belum menjawab pertanyaan terkait keberadaan peretas Korut di negara mereka.

Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price saat jumpa pers, Rabu, 17 februari 2021, ia mengatakan aktivitas berbahaya Korea Utara di Internet mengancam Amerika Serikat dan negara-negara sekutu.

Isu itu akan jadi bahan evaluasi kebijakan luar negeri AS di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden.

Baca Juga: Ulasan Menarik Clubhouse, Aplikasi Dipopulerkan Oleh Elon Musk Dan Menjadi Incaran Mark Zuckerberg

Korea Utara diprediksi telah mengumpulkan dua miliar dolar AS atau sekitar Rp28,02 triliun dari aksi peretasan digital yang luas dan canggih terhadap bank, serta pasar mata uang digital.

Demikian isi laporan PBB yang disusun oleh para pengawas implementasi sanksi terhadap Korea Utara, laporan itu terbit pada 2019.

“Menurut salah satu negara anggota, total aset yang berhasil dicuri DPRK, dari 2019 sampai November 2020, kurang lebih sebanyak 316,4 juta dolar AS (sekitar Rp4,43 triliun),” kata para pengawas sebagaimana dikutip dari laporannya.

Para pejabat mengatakan pada hari Rabu, bahwa Ghaleb Alaumary, seorang warga negara Kanada-Amerika, telah secara terpisah mengaku bersalah atas pencucian sebagian uang yang dituduhkan peretas.

Baca Juga: Resmikan Bendungan Tapin di Kalimantan Selatan, Jokowi: Saya Setuju Bendungan Tapin Menjadi Objek Pariwisata

Permintaan komentar yang dikirim ke pengacara Alaumary tidak segera dikembalikan. Alaumary dijadwalkan akan dijatuhi hukuman pada bulan Juni di pengadilan federal di Georgia.

Sebagaimana artikel ini telah terbit di media Pikiran-Rakyat.com dengan judul "Utara yang Curi Uang Digital hingga Belasan Triliunan Rupiah" yang tayang pada Kamis 18 Februari 2021***(Pikiran Rakyat/Nurul Khadijah)

Editor: Suhargo

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah