Hendardi: Penindakan Teroris yang Bersifat Terukur dan Akuntabel Harus Dilakukan Secara Simultan

1 April 2021, 17:46 WIB
Komnas Perempuan mengungkapkan, menurut penelitian kaum perempuan lebih mudah untuk dimanfaatkan dalam jaringan terorisme. /Tangkap layar CCTV Mabes Polri./

Portalbangkabelitung.com - Ketua Setara Institute, Hendardi menilai dua peristiwa teror terakhir di Makassar dan di Jakarta menunjukkan bahwa kelompok pengusung ideologi teror masih eksis di Indonesia, termasuk dengan menggunakan strategi lone wolf (tindakan sendirian).

Untuk diketahui, Lone wolf merupakan strategi mutakhir di kalangan kelompok dan jaringan teroris. Strategi tersebut memungkinkan siapa saja menjadi aktor teroris.

Salah satu jaringan terorisme yang paling menonjol mengadopsi strategi lone wolf dalam menjalankan tindakan teror adalah Jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD).

Baca Juga: Polisi Gerak Cepat, 30 Terduga Teroris Ditangkap Usai Bom Makassar

“JAD mengkapitalisasi pesatnya perkembangan teknologi informasi dan memanfaatkannya secara efektif untuk melakukan proses radikalisasi di ruang publik dengan menyasar kelompok-kelompok spesifik, yang memiliki potensi transformasi secara cepat untuk menjadi intoleran aktif, radikal, lalu jihadis dan melakukan amaliyah teror,” kata Hendardi kepada Pikiran Rakyat, Kamis, 1 April 2021.

Eksistensi kelompok teroris ini dimungkinkan karena mengendurnya kepekaan dan melemahnya partisipasi masyarakat.

Di sisi lain, berkembang upaya untuk mendelegitimasi tindakan polisional oleh institusi-institusi keamanan negara dalam menangani terorisme.

Baca Juga: Sidang Isbat Akan Digelar pada 12 April 2021, Kemenag: Dilakukan Secara Daring dan Luring

“Hal itu mendorong masyarakat menjadi permisif, karena berkembang persepsi bahwa terorisme adalah konspirasi atau rekayasa pihak-pihak tertentu,” ucap dia.

Padahal, dua aksi terakhir, misalnya, menunjukkan betapa jejaring itu nyata dan keberadaan mereka membahayakan jiwa warga masyarakat.

Demi melindungi kepentingan publik dan keselamatan warga, tindakan polisional yang terukur dan akuntabel, untuk melumpuhkan teroris dan jaringannya dibenarkan, (permissible) dalam perspektif hukum dan hak asasi manusia.

Baca Juga: Sidang Isbat Akan Digelar pada 12 April 2021, Kemenag: Dilakukan Secara Daring dan Luring

Namun, penyesatan opini yang mendelegitimasi tindakan koersif negara dalam menangani aksi terorisme masih terus berlangsung.

Hal itu jelas menjadi kampanye distortif atas kinerja pemberantasan terorisme di satu sisi, dan semakin memperluas ruang radikalisasi publik dan memperkuat sikap permisif warga, di sisi lain.

“Padahal, ruang-ruang publik yang permisif terhadap intoleransi dan radikalisme merupakan enabling environment atau lingkungan yang membuat dan mempercepat tumbuhnya terorisme dan rekonsolidasi jaringan dan sel-sel tidur terorisme,” ucap dia.

Baca Juga: Generasi Milenial Sasaran Empuk, Perekrutan Terorisme Di Indonesia, Cegah dengan Langkah-langkah Ini!

Terakhir, terorisme merupakan musuh bersama. Oleh karena itu, mobilisasi sumber daya dan dukungan bersama jelas dibutuhkan. seluruh warga negara.

Masyarakat mesti berpartisipasi dalam pencegahan dan aparatur negara harus melakukan tindakan hukum yang akuntabel dan terukur dalam bentuk penindakan.

Baca Juga: Presiden Joko Widodo Tegaskan Tidak Ada Ruang bagi Terorisme di Tanah Air, Kita Bersatu Lawan Terorisme

“Sinergi demikian akan membentuk imunitas kolektif dari penyebaran terorisme melalui saluran apapun, termasuk dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, seperti media sosial dan internet,” ujar dia.

Artikel ini telah terbit di media Pikiran-Rakyat.com dengan judul "Penyerang Mabes Polri Tewas, Setara Institute: Penindakan Terukur dan Akuntabel Terhadap Teroris Dibenarkan" yang tayang pada Kamis, 1 April 2021.*** (Pikiran Rakyat/Muhammad Irfan)

Editor: Muhammad Tahir

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler