Dibalik Politik Supersemar yang Terjadi pada 11 Maret 1966.

- 26 Maret 2021, 00:24 WIB
Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar
Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar /commons.wikimedia.org/Hendradiningrat/

PortalBangkaBelitung.com – Politik Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang juga dikenal dengan Dekrit 11 Maret menjadi awal mula Orde Baru bersama Soeharto dan menggeser pemerintah Soekarno di masa Orde Lama.

 

Ketegangan antara tentara, komunis, nasionalis, dan kelompok Muslim meningkat dan akan menghasilkan kudeta yang sebagian besar tetap menjadi misteri hingga saat ini. Begitu pula dengan latar belakang terjadinya Politik Supersemar yang menjadi kisah penting dalam perjalanan politik Indonesia.

 

Sebagaimana diberitakan Ringtimes Banyuwangi dengan judul "Latar Belakang Politik Supersemar yang Terjadi pada 11 Maret".

 

Bermula pada malam tanggal 30 September 1965, terdapat enam jenderal dari angkatan darat dan seorang letnan yang diculik dan dibunuh oleh sekelompok perwira komunis yang menyebut diri mereka sebagai Gerakan 30 September (G30 S-PKI).

Baca Juga: Risma Serahkan Santunan ke Ahli Waris Korban Kebakaran Matraman, Anies Baswedan Pastikan Seluruhnya Dibantu

Diduga, ketujuh perwira militer yang terbunuh ini sedang merencanakan kudeta untuk menggulingkan Sukarno.

 

Namun, tidak pernah ada bukti yang jelas bahwa ketujuh perwira ini merencanakan kudeta militer terhadap Soekarno. Selain itu, tidak ada bukti yang jelas bahwa partai komunis (PKI) berada di belakang aksi mogok kerja untuk mencegah kudeta militer.

 

Padahal, Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Kepala Komando Cadangan Strategis (Kostrad), langsung menyalahkan PKI.

 

Mendapati hal itu terjadi, pasukan komando segera mencurigai komunis hingga pada akhirnya mereka harus dibantai di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara yang diperkiraan jumlah korbannya mencapai 400.000 dan satu juta orang.

Baca Juga: Alokasi Anggaran BP2MI Dinilai Sangat Rendah, DPR RI Dorong Naik 3 Kali Lipat

Diduga bahwa pembunuh komunis ini adalah unit tentara, geng sipil yang menerima persenjataan dari militerdan sayap pemuda militan Ansor dari Nahdlatul Ulama hingga pembunuhan keji ini harus berlanjut hingga tahun 1965 dan 1966.

 

Sementara itu, mulai awal tahun 1966, Angkatan Darat mengadakan demonstrasi mahasiswa anti-Soekarno dalam upaya untuk meningkatkan kekacauan di ibu kota Jakarta dan dengan demikian meningkatkan tekanan terhadap Soekarno.

 

Dalam situasi yang tidak bersahabat ini, Sukarno dengan enggan menandatangani dekrit Supersemar atas desakan tentara. Penandatanganan berlangsung di Istana Kepresidenan Bogor, 60 kilometer di selatan Jakarta.

Baca Juga: Andi Arief Mengaku Sedih, Sebut Kubu Moeldoko Tersambar Petir di Hambalang

Pergeseran Kekuasaan: Konsekuensi dari Supersemar

Setelah memiliki kekuasaan yang luas, Soeharto dengan cepat melarang Partai Komunis Indonesia (PKI) keesokan harinya dan sekitar satu minggu kemudian lima belas menteri loyalis Soekarno ditangkap oleh tentara.

 

Soeharto kemudian mengubah komposisi MPRS dan hampir setahun kemudian MPRS ini memilih untuk menghapus semua kekuatan politik Sukarno dan menunjuk Soeharto sebagai penjabat presiden baru negara itu.

 

Dalam dua tahun setelah penandatanganan Supersemar, Soeharto telah memperoleh semua kekuasaan dan menjadi presiden kedua Indonesia posisi yang akan dipegangnya hingga Mei tahun 1998.*** (Kurnia Sudarwati/Ringtimes Banyuwangi PRMN)

Editor: Suhargo

Sumber: Ringtimes Banyuwangi (PRMN)


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah