Problematika Kepailitan di Masa Pandemi, dari Maraknya PHK hingga Ancaman Resesi Ekonomi Nasional

20 Mei 2021, 19:57 WIB
PENULIS : YOZIANDIKA (MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UBB), Foto Ilustrasi. /Pixabay/Lorenzo Cafaro/

Portalbangkabelitung.com- Kondisi ekonomi Indonesia cukup terpukul sejak Covid-19 mulai terdeteksi pada Maret 2020. Keterbatasan ruang gerak manusia dan ditutupnya beberapa jalur perdagangan memperburuk situasi ekonomi.

Situasi ini jelas membuat kalangan pengusaha mengencangkan ikat pinggang untuk mempertahankan diri.

Mulai dari efisiensi anggaran perusahaan, hingga melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan. Namun langkah-langkah tersebut tak menjamin bisa menyelamatkan perusahaan dari jurang kebangkrutan.

Baca Juga: Kembali dari Malaysia, 200 Pekerja Migran Indonesia Positif Covid-19

Beberapa perusahaan yang mungkin tidak mampu mengelola dan mempertahankan usahanya di tengah pandemi, bisa berujung pada permohonan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Pailit merupakan kata lain dari bangkrut yang berarti ketidakmampuan debitor untuk membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo.

Ketidakmampuan membayar tersebut harus disertai dengan tindakan nyata untuk mengajukan permohonan pailit baik secara sukarela oleh debitor itu sendiri maupun permintaan pihak ketiga. Pailit diawali dengan adanya permohonan pailit oleh debitor atau minimal salah satu kreditor.

Baca Juga: Ternyata Ini Alasan Rahasia Israel Serang Gedung- Gedung Palestina, Benarkah Untuk Melemahkan Ekonominya?

Jimmy Simanjuntak menyebut bahwa tren permohonan pailit dan terutama PKPU mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama pandemi Covid-19. “Kalau naik pasti (pailit dan PKPU), tapi secara rigit belum bisa memberikan data atau jumlah karena biasanya dicatat hingga akhir tahun. Tapi trend sudah pasti naik,”

Menurutnya, peningkatan perkara pailit dan PKPU terjadi karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh debitur selama pandemi Covid-19. Misalnya tidak menjalankan kewajiban, seperti membayar utang akibat situasi keuangan perusahaan yang menurun.

Jika dibandingkan dengan periode pertama pada tahun 2019, Jimmy mengatakan bahwa permohonan pailit dan PKPU meningkat cukup tajam di masa pandemi, dengan kenaikan jumlah perkara sebanyak 50 persen.

Baca Juga: Marak Konten Video Tiktok yang Hina Palestina, Polri Akan Tindak Tegas Hal Ini

Peningkatan permohonan kepailitan di masa pandemi Covid-19 harusnya dapat menjadi momentum bagi pembuat Undang-Undang untuk segera melakukan revisi terhadap UU Kepailitan termasuk terkait persyaratan pengajuan kepailitan. Terlebih lagi UU ini merupakan bagian dari Program Legislasi Nasional 2020-2024.

Selain itu pengajuan pailit perlu mendapatkan perhatian karena kepailitan merupakan salah satu indikator kemudahan berusaha/ease of doing business (EoDB) yang menjadi salah satu acuan investasi di Indonesia.

Tujuan kepailitan juga perlu diatur secara lebih berkeadilan antara kepentingan debitor dan kreditor. Dari ketiga tujuan kepailitan terlihat bahwa tujuan UU Kepailitan lebih berpihak pada kreditor.

Baca Juga: Serangan di Gaza Makin Brutal, KH Ahmad Fahrur Rozi Ungkap Asal Mula Ketegangan Antara Palestina dan Israel

Sedangkan beberapa dampak terhadap debitor cenderung diabaikan seperti terkait adanya upaya pencemaran nama baik. Selain itu tujuan kepailitan juga perlu lebih menyasar pada kepentingan banyak orang seperti buruh dan konsumen.

DPR RI dalam melakukan fungsi pengawasan perlu lebih memberikan perhatian terhadap proses kepailitan terutama yang melibatkan kepentingan banyak pihak (konsumen) dan untuk menghindari reaksi yang berlebihan dari pihak terkait. Selain itu melalui fungsi legislasi, DPR RI hendaknya dapat mendorong revisi terhadap UU Kepailitan dengan memperketat persyaratan pengajuan pailit dan memperbaiki tujuan kepailitan.***

Editor: Suhargo

Tags

Terkini

Terpopuler